Senin, 10 September 2012

TERHADAP KRISIS HARGA KEDELAI YANG MELONJAK CEPAT

Membaca sebuah status Facebook seorang rekan THL TB Penyuluh Pertanian dari Malang yang terus memantau informasi dan perkembangan harga kedelai, berikut kami release kembali informasi terbaru tentang hal tersebut.

MALANG – Krisis kedelai yang sedang berlangsung saat ini, diprediksi Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi-umbian (Balitkabi), akan membaik September nanti. Setidaknya, akan ada sumbangan sekitar 1,2 milyar ton, dari sekitar 800 ribu hektar lahan kedelai yang ada diseluruh Indonesia. Ketika itu, akan berlangsung musim panen kedelai. 
Uniknya, Balitkabi juga menemukan sejumlah varietas baru yang berpotensi mendongkrak produksi kedelai lokal secara massal. Hanya dalam waktu 83 hari, setiap hektare menghasilkan 1,5 ton kedelai. Sementara varietas kedelai impor dari Amerika, butuh waktu 120 hari. 
Hanya saja, kedelai lokal ditanam masih menggunakan lahan sawah bekas tanam padi. Sehingga masa tanamnya bergantian dengan musim panen padi yang ke dua. 
‘’Musim tanam kedelai dimulai Juli, setelah panen padi ke dua. Umumnya September sudah mulai masuk masa panen kedelai,’’ jelas Kepala Balitkabi Dr. Muchlis Adie, kepada Malang Post, kemarin. 
Daerah penghasil kedelai itu, menurutnya, tersebar dengan porsi 60 persen dari pulau Jawa. Terbesar disumbang wilayah di Jawa Timur. Seperti Banyuwangi, Bondowoso, Ponorogo, Ngawi dan Nganjuk. Sejumlah wilayah lain disekitar perbatasan Malang, juga jadi sentra kedelai. Seperti Jombang, Blitar, Pasuruan dan Probolinggo.
Soal kualitas kedelai lokal, juga memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan impor. Mulai kandungan nutrisi yang lebih tinggi, serta bahan yang lebih segar. Namun kedelai lokal disebutnya memiliki kelemahan. Seperti warna yang tidak sebagus kedelai impor dan ukuran yang sedikit lebih kecil. 
‘’Kandungan protein kedelai lokal sampai 40 persen, sementara impor hanya 36 persen. Itu karena kedelai lokal lebih segar, sedangkan kedelai impor itu kedelai yang telah ditimbun sekitar satu tahun di negara asalnya. Jadi lokal lebih bergizi dibandingkan impor,’’ jelasnya lagi. 
Kedelai lokal juga memiliki banderol harga lebih hemat dibandingkan impor. Saat ini, kedelai lokal pada dikisaran Rp 5.000/ kilonya. Sedang impor pada kisaran Rp 7.800/kilo. 
Sayangnya karena terbatasnya lahan kedelai, membuat bahan pangan ini hanya bisa ditanam di masa tertentu. Mengantisipasi hal itu, Balitkabi memiliki beberapa varietas baru yang bisa digunakan dalam kondisi ekstrim. 
Adalah varietas Argomulyo, yang bisa tumbuh diantara pepohonan jati dengan usia kurang dari 4 tahun. Varietas ini memungkinkan adanya lahan kedelai di sela perkebunan jati milik perhutani dengan luasan sekitar 200 ribu hektare. 
Hasil penelitian Balitkabi menyebut, lokasi tersebut tersebar di Ngawi, Bojonegoro, Blitar dan Ponorogo. Ada juga varietas dengan usulan nama dering, yaitu varietas yang toleran terhadap kekeringan. 
‘’Dering ini hanya butuh 2 kali penyiangan air. Normalnya sampai 4 kali penyiangan untuk satu kali panen. Varietas yang tidak butuh air ini, bisa meningkatkan efisiensi dari petani kedelai didaerah kering seperti Probolinggo dan Pasuruan,’’ ungkapnya. 
Terkait lahan itu sendiri, diakui Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang, Purwanto. Selain itu, tingginya harga produksi kedelai, membuat petani lebih suka menanam padi. 
‘’Kami sudah memberikan bantuan benih dan lainnya. Tapi tidak dapat berkembang. Tak ada perkembangan yang signifikan petani kedelai di Kabupaten Malang,’’ kata Purwanto.
Hasil panen kedelai dalam lahan satu hektar misalnya, hanya 1,8 ton. Jika menanam padi, bisa menghasilkan 6,5 ton sampai 7 ton dan mudah dijualnya ke pasaran.
‘’Menanam padi masih lebih menjanjikan bagi petani daripada kedelai. Meski kami sudah berupaya memberikan stimulus kepada petani untuk menanam kedelai,’’ ungkapnya.
Di Kabupaten Malang, lahan yang ditanami kedelai sekitar 250 hektar. Tersebar di beberapa kecamatan. Antara lain, Bantur, Kalipare, Pagak, Donomulyo dan Gedangan.
Sayangnya, meski pasokan kedelai lokal akan segera tersedia, belum tentu merubah kebiasaan perajin tempe di Malang. Pasalnya kedelai lokal dianggap tidak cocok untuk digunakan sebagai bahan baku tempe. 
‘’Saya pernah mencoba menggunakan beberapa jenis kedelai lokal untuk tempe, hasilnya tempenya tidak bisa menyatu dengan baik dan gampang pecah. Jadi tidak bisa digunakan untuk keripik,’’ kata Etik Rahmawati, perajin tempe Pak Ucok. 
Namun pihaknya juga tidak menutup kemungkinan untuk beralih ke kedelai lokal jika kualitasnya lebih baik. ‘’Kalau tidak pecah, pasti bisa digunakan untuk keripik,’’ tandasnya. Etik menyebut seharinya dia membutuhkan sekitar 5 kwintal kedelai untuk memproduksi tempe. (pit/aim/avi)
Courtesy of e_petani kementan

Tidak ada komentar: