Membaca sebuah status Facebook seorang rekan THL TB Penyuluh
Pertanian dari Malang yang terus memantau informasi dan perkembangan harga
kedelai, berikut kami release kembali informasi terbaru tentang hal tersebut.
MALANG – Krisis kedelai yang sedang berlangsung
saat ini, diprediksi Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi-umbian
(Balitkabi), akan membaik September nanti. Setidaknya, akan ada sumbangan
sekitar 1,2 milyar ton, dari sekitar 800 ribu hektar lahan kedelai yang ada
diseluruh Indonesia. Ketika itu, akan berlangsung musim panen kedelai.
Uniknya, Balitkabi juga
menemukan sejumlah varietas baru yang berpotensi mendongkrak produksi kedelai
lokal secara massal. Hanya dalam waktu 83 hari, setiap hektare menghasilkan 1,5
ton kedelai. Sementara varietas kedelai impor dari Amerika, butuh waktu 120
hari.
Hanya saja, kedelai
lokal ditanam masih menggunakan lahan sawah bekas tanam padi. Sehingga masa
tanamnya bergantian dengan musim panen padi yang ke dua.
‘’Musim tanam kedelai
dimulai Juli, setelah panen padi ke dua. Umumnya September sudah mulai masuk
masa panen kedelai,’’ jelas Kepala Balitkabi Dr. Muchlis Adie, kepada Malang
Post, kemarin.
Daerah penghasil
kedelai itu, menurutnya, tersebar dengan porsi 60 persen dari pulau Jawa.
Terbesar disumbang wilayah di Jawa Timur. Seperti Banyuwangi, Bondowoso,
Ponorogo, Ngawi dan Nganjuk. Sejumlah wilayah lain disekitar perbatasan Malang,
juga jadi sentra kedelai. Seperti Jombang, Blitar, Pasuruan dan Probolinggo.
Soal kualitas kedelai
lokal, juga memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan impor. Mulai kandungan
nutrisi yang lebih tinggi, serta bahan yang lebih segar. Namun kedelai lokal
disebutnya memiliki kelemahan. Seperti warna yang tidak sebagus kedelai impor
dan ukuran yang sedikit lebih kecil.
‘’Kandungan protein
kedelai lokal sampai 40 persen, sementara impor hanya 36 persen. Itu karena
kedelai lokal lebih segar, sedangkan kedelai impor itu kedelai yang telah
ditimbun sekitar satu tahun di negara asalnya. Jadi lokal lebih bergizi
dibandingkan impor,’’ jelasnya lagi.
Kedelai lokal juga
memiliki banderol harga lebih hemat dibandingkan impor. Saat ini, kedelai lokal
pada dikisaran Rp 5.000/ kilonya. Sedang impor pada kisaran Rp
7.800/kilo.
Sayangnya karena
terbatasnya lahan kedelai, membuat bahan pangan ini hanya bisa ditanam di masa
tertentu. Mengantisipasi hal itu, Balitkabi memiliki beberapa varietas baru
yang bisa digunakan dalam kondisi ekstrim.
Adalah varietas
Argomulyo, yang bisa tumbuh diantara pepohonan jati dengan usia kurang dari 4
tahun. Varietas ini memungkinkan adanya lahan kedelai di sela perkebunan jati
milik perhutani dengan luasan sekitar 200 ribu hektare.
Hasil penelitian
Balitkabi menyebut, lokasi tersebut tersebar di Ngawi, Bojonegoro, Blitar dan
Ponorogo. Ada juga varietas dengan usulan nama dering, yaitu varietas yang
toleran terhadap kekeringan.
‘’Dering ini hanya
butuh 2 kali penyiangan air. Normalnya sampai 4 kali penyiangan untuk satu kali
panen. Varietas yang tidak butuh air ini, bisa meningkatkan efisiensi dari
petani kedelai didaerah kering seperti Probolinggo dan Pasuruan,’’
ungkapnya.
Terkait lahan itu
sendiri, diakui Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Malang,
Purwanto. Selain itu, tingginya harga produksi kedelai, membuat petani lebih
suka menanam padi.
‘’Kami sudah memberikan
bantuan benih dan lainnya. Tapi tidak dapat berkembang. Tak ada perkembangan
yang signifikan petani kedelai di Kabupaten Malang,’’ kata Purwanto.
Hasil panen kedelai
dalam lahan satu hektar misalnya, hanya 1,8 ton. Jika menanam padi, bisa
menghasilkan 6,5 ton sampai 7 ton dan mudah dijualnya ke pasaran.
‘’Menanam padi masih
lebih menjanjikan bagi petani daripada kedelai. Meski kami sudah berupaya
memberikan stimulus kepada petani untuk menanam kedelai,’’ ungkapnya.
Di Kabupaten Malang,
lahan yang ditanami kedelai sekitar 250 hektar. Tersebar di beberapa kecamatan.
Antara lain, Bantur, Kalipare, Pagak, Donomulyo dan Gedangan.
Sayangnya, meski
pasokan kedelai lokal akan segera tersedia, belum tentu merubah kebiasaan
perajin tempe di Malang. Pasalnya kedelai lokal dianggap tidak cocok untuk
digunakan sebagai bahan baku tempe.
‘’Saya pernah mencoba
menggunakan beberapa jenis kedelai lokal untuk tempe, hasilnya tempenya tidak
bisa menyatu dengan baik dan gampang pecah. Jadi tidak bisa digunakan untuk
keripik,’’ kata Etik Rahmawati, perajin tempe Pak Ucok.
Namun pihaknya juga
tidak menutup kemungkinan untuk beralih ke kedelai lokal jika kualitasnya lebih
baik. ‘’Kalau tidak pecah, pasti bisa digunakan untuk keripik,’’ tandasnya.
Etik menyebut seharinya dia membutuhkan sekitar 5 kwintal kedelai untuk
memproduksi tempe. (pit/aim/avi)
Courtesy of e_petani kementan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar